PRAKTIKUM
BUDIDAYA KAKAO
(Theobroma cacao L)
Laporan
SRI
RAHAYU AGUSTINA
12542111000839
SEKOLAH
TINGGI PERTANIAN KUTAI TIMUR
SANGATTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan
Praktikum Budidaya Tanaman Lada (Piper
Nigrum L)
Disusun Oleh :
Sri Rahayu Agustina
12542111000839
Di Setujui dan Disahkan Oleh:
Dosen Pengampuh Asisten
Praktikum
Mata
Kuliah
Dian
Triadiwarman, SP Bahar, SP
Mengetahui :
Ketua Program Studi Agroteknologi
La Sarido, SP. MP
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji
syukur kehadirat Allah swt , yang telah memberikan ridha nya sehingga saya
dapat menyelesaikan laporan praktikum Budidaya Tanaman Kakao ini. Saya mengucapakan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah ikut berpartisipasi atas terbentuknya laporan yang
sederhana ini.
Tentunya
kepada:
1. Bapak, Prof. Dr. ir. Juraemi, M.Si.
selaku ketua STIPER Kutai Timur
2. Bapak La Sarido, SP., MP., selaku
ketua Program Studi Agroteknologi
3. Bapak Dian Triadiwarman, SP. selaku
dosen Pengampuh Mata Kuliah Budidaya Tanaman Kakao
4. Bapak Bahar, SP. Selaku Asisten Praktikum
5. Rekan –rekan yang telah membantu
saya dalam melaksanakan praktikum ini.
Laporan praktikum ini
disusun untuk bisa mengetahui daya tumbuh benih kakao, mengetahui kecepatan
tumbuh benih, tinggi bibit yang akan dihitung secara bertahap sejak hari
setelah tanam serta jumlah daun setiap minggu setelah tanamnya. Saya menyadari bahwa dalam
penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat saya harapkan, untuk perbaikan penyusunan laporan lain di
kedepannya.
Sangatta, 05 Desember 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
LEMBAR
PENGESAHAN............................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
DAFTAR
TABEL.............................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2. Tujuan Praktikum...................................................................... 3
1.3. Manfaat..................................................................................... 3
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 4
2.1. Tinjauan Umum Tanaman
Kakao............................................. 4
2.1.1 Klasifikasi dan
Botani Kakao............................................. 4
2.1.2. Morfologi.......................................................................... 6
2.2. Syarat Tumbuh.......................................................................... 10
2.2.1. Curah Hujan...................................................................... 10
2.2.2. Temperatur........................................................................ 11
2.2.3. Sinar Matahari................................................................... 11
2.2.4. Tanah................................................................................. 12
2.3. Perkembangan Tanaman
Kakao................................................ 14
2.3.1. Periode Sebelum
Kemerdekaan
Republik
Indonesia............................................................ 15
2.3.2. Periode Setelah
Kemerdekaan
Republik
Indonesia............................................................. 16
2.4. Pemeliharaan............................................................................. 18
2.4.1. Penyiraman........................................................................ 18
2.4.2. Pemupukan........................................................................ 18
2.4.3. Pengendalian Hama
Penyakit............................................. 18
2.4.4. Pengendalian Gulma.......................................................... 24
2.5. Panen.......................................................................................... 25
2.6. Pasca Panen.............................................................................. 27
BAB
III METODE PRAKTIKUM................................................................ 30
3.1. Waktu dan Tempat.................................................................... 30
303.2. Alat dan Bahan........................................................................ 30
3.2.1. Alat................................................................................... 30
3.2.2. Bahan................................................................................ 30
3.3. Prosedur Praktikum.................................................................. 30
3.4. Pelaksanaan Praktikum............................................................ 31
3.4.1. Persiapan Lokasi............................................................... 31
3.4.2. Persiapan Media
Tanam.................................................... 31
3.4.3. Pengisian Polybag............................................................. 31
3.4.4. Persemaian........................................................................ 31
3.4.5. Pemeliharaan..................................................................... 31
3.4.6. Pengendalian Hama
dan Penyakit..................................... 32
3.5. Parameter Pengamatan.............................................................. 32
BAB
IV HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 33
4.1 Daya Tumbuh Benih.................................................................. 33
4.2 Kecepatan Tumbuh Benih.......................................................... 35
4.3 Tinggi Bibit................................................................................ 36
4.4. Data Pengamatan Jumlah
Daun................................................. 38
4.5.
Proses
Pencangkulan.................................................................. 40
BAB
V PENUTUP........................................................................................ 41
5.1. Kesimpulan............................................................................... 41
5.2. Saran.......................................................................................... 41
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kakao secara garis
besar dapat dibagi menjadi dua tipe besar, yaitu Criollo (Amerika Tengah dan
Amerika Selatan) dan Forastero (Amazona dan Trinitario). Tanaman kakao dapat
diperbanyak dengan cara generativ ataupun vegetatif. Kakao lindak umumnya
diperbanyak dengan benih dari klon-klon induk yang terpilih. Sedangkan kakao
mulia umumnya diperbanyak secara vegetatif. Namun, kakao lindak pun dewasa ini
juga sering diperbanyak secara vegetatif untuk meningkatkan mutu dan hasil.
Budidaya kakao sangat ditentukan oleh tersedianya benih dan bibit yang baik
untuk menjamin tersedianya benih yang bermutu, maka dewasa ini di Indonesia
terdapat sekitar 10 produsen benih (F.X. Susanto, 1994).
Tanaman kakao merupakan
salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi
perekonomian nasional di Indonesia, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,
dan sumber pendapatan. Selain itu, kakao juga berperan dalam mendorong
pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Salah satu faktor yang
perlu diperhatikan dalam mengusahakan tanaman kakao adalah penggunaan bibit
unggul dan bermutu. Tanaman kakao merupakan tanaman tahunan, karena itu
kesalahan dalam pemakaian bibit akan berakibat buruk dalam pengusahaannya,
walaupun diberi perlakuan kultur teknis yang baik tidak akan memberikan hasil
yang diinginkan, sehingga modal yang dikeluarkan tidak akan kembali karena
adanya kerugian dalam usaha tani. Untuk menghindari masalah tersebut, perlu
dilakukan cara pembibitan kakao yang baik.
Pembibitan adalah suatu
kegiatan untuk menghasilkan atau memproduksi bibit. Kegiatan yang dilakukan
dalam pembibitan terdiri dari perencanaan pembibitan, pembangunan persemaian,
penyiapan media bibit, perlakuan pendahuluan terhadap benih sebelum disemaikan,
penyemaian benih, penyapihan bibit, pemeliharaan bibit, pengepakan dan
pengangkutan bibit serta administrasi pembibitan (Willy, 2010).
Faktor yang
mempengaruhi pembibitan tanaman kakao seperti juga tanaman perkebunan yang lain
adalah air, cahaya matahari, unsur hara, suhu, dan kelembaban. Pertumbuhan
vegetatif bibit terbagi atas pertumbuhan daun, batang dan akar. Faktor-faktor
yang mempengaruhi proses pertumbuhan daun dan batang ialah hormon dan nutrisi
(faktor dalam), status air dalam jaringan tanaman, suhu udara dan cahaya
(faktor luar). Pertumbuhan akar dipengaruhi suhu media tumbuh, ketersediaan
oksigen (aerasi), faktor fisik media tumbuh, pH media tumbuh, selain faktor
dalam dan status air dalam jaringan tanaman. Pertumbuhan daun dan perluasan
batang menentukan luas permukaan daun dan struktur tajuk yang sangat penting
sehubungan dengan proses fotosintesis. Sedangkan perluasan akar akan menentukan
jumlah dan distribusi akar yang kemudian akan berfungsi kembali sebagai organ
penyerap unsur hara mineral.
Kakao
merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk
peningkatan devisa Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok
utama kakao dunia setelah Pantai Gading (38,3%) dan Ghana (20,2%) dengan
persentasi 13,6%. Permintaan dunia terhadap komoditas kakao semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Namun, kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia
dikenal sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan produk kakao yang
masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi)
sehingga kualitas kakao Indonesia menjadi rendah. Kualitas rendah menyebabkan
harga biji dan produk kakao Indonesia di pasar internasional dikenai potongan sebesar
USD 200/ton atau 10-15 % dari harga pasar. Selain itu, beban pajak ekspor kakao
olahan (sebesar 30%) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beban pajak impor
produk kakao (5%), kondisi tersebut telah menyebabkan jumlah pabrik olahan
kakao Indonesia terus menyusut. Selain itu para pedagang (terutama trader
asing) lebih senang mengekspor dalam bentuk biji kakao atau non olahan (Rohman,
2009).
1.2.Tujuan
Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini
adalah untuk mengetahui daya tumbuh benih kakao, mengetahui kecepatan tumbuh
benih, tinggi bibit yang akan dihitung secara bertahap sejak hari setelah tanam
serta jumlah daun setiap minggu setelah tanamnya.
1.3.Manfaat
Dengan
dilaksanakannya praktikum budidaya kakao ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
penulis dan juga khususnya bagi teman –teman mahasiswa Stiper. Adapun kegunaan
dan manfaat dari praktikum ini antara lain sebagai berikut :
1. Mampu
menghitung Daya Tumbuh Benih kakao.
2. Mampu
menghitung Kecepatan Tumbuh Benih kakao.
3. Mampu
menghitung tinggi bibit serta jumlah daun kakao secara bertahap sejak 14 hari
setelah tanamnya.
4. Untuk
menambah ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu untuk menyelesaikan mata
kuliah Budidaya Kakao.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.Tinjauan
Umum Tanaman Kakao
2.1.1
Klasifikasi dan Botani Kakao
Daerah
utama pertanaman kakao adalah hutan hujan tropis di Amerika Tengah, tepatnya
pada wilayah 18o Lintang Utara sampai 15o Lintang
Selatan. Daerah-daerah dari selatan Meksiko sampai ke Bolivia dan Brazilia
adalah tempat-tempat tanaman kakao tumbuh sebagai tanaman liar. Beberapa
spesies Theobroma yang diketahui,
antara lain Theobroma bicolor, Theobroma sylvestris, Theobroma pentagona, dan Theobroma augustifolia, merupakan
spesies yang pada awalnya juga dimanfaatkan sebagai penghasil biji sebagai
campuran.
A. Sistematika
Kakao atau yang
lebih dikenal dengan sebutan cokelat merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga
dari batang atau cabang. Karena itu tanaman ini digolongkan kedalam kelompok
tanaman caulifloris. Adapun
sistematikanya menurut klasifikasi botanis sebagai berikut :
Divisio : spermatophyta
Klas : Dicotyledon
Ordo : Malvales
Famili : Sterculiceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma
cacao.
B. Jenis
Pada tahun 1937-1938
F.J. Pound mengadakan ekspedisi ke Equador, lembah Amazona, dan Kolumbia untuk
mendapatkan bahan tanam cokelat. Dari ekspedisi itu terkumpul 320 buah yang
berasal dari 80 pohon terpilih yang tahan akan Witches Broom Diseases. Di Equador sebanyak 250 buah asal 25 pohon
yang sama ketahanannya juga dikumpulkan dari Iquitos Island (yang kelak cokelat
ini dikenal sebagai klon IMC), Rio Nanai (klon Na), Parinary di Rio Nararion
(klon Pa), Rio Morona, dan Rio Ucuyali (klon Sca) di Peru. Tahun 1942 ekspedisi
itu diulang kembali ke lembah Amazona untuk mendapatkan batang atas okulasi.
Hasil ekspedisi Pound inilah yang kelak digunakan untuk mendapatkan bahan tanam
klon maupun biji melalui seleksi dan hibridisasi.
E.E. Cheesman – pada
tahun 1942 – yang mulai melaksanakan program pemuliaan di Trinidad, yang bahan
tanamnya merupakan hasil dari ekspedisi F.J. Pound. Klon – klon Sca dan Pa
dikenal tahan akan penyakit busuk buah (black
pods), sedangkan klon IMC tahan akan Cocoa
swollen disease. Lebih lanjut cokelat dibedakan oleh cheesman atas dua
jenis yaitu criollo dan Forastero. Namun sebelum seorang ahli lain telah lebih
dlu membedakan cokelat ata tiga jenis, yaitu Criollo, forastero, dan
Calabacillo. Tapi, karena Calabacillo ternyata memiliki sifat-sifat yang sama
dengan Forastero maka Cheesman memasukkannya kedalam kelompok Forastero. Jenis
Forastero meliputi cokelat yang buahnya bertipe Angoleta, Cundeamor, Amelonado,
dan Calabacillo.
Perkembangan penelitian
terhadap cokelat telah pula membawa perubahan didalam penggolongan cokelat
menurut jenisnya. Oleh Cheesman, Criollo, dan Forastero dibedakan lagi atas
Central American Criollos dan South Criollos serta Amazone Forastero. Saat ini
bahan tanaman cokelat yang banyak digunakan adalah Upper Amazone Hybrids,
karena produksinya tinggi dan cepat sekali mengalami fase generatif.
Bahan tanam klon Na,
Pa, Sca adalah contoh UAH yang saat ini banyak digunakan sebagai bahan tanam,
demikian juga Amelonado dari cokelat jenis Lower Amazone Forastero, serta ICS
dan DR dari jenis Trinitario. Penelitian selanjutnya menghasilkan bahan tanam
biji hibrida F2 hasil persilangan beberapa klon, maupun klon sebagai bahan
tanam, dan tetua anjuran. Di Malaysia dikembangkan bahan tanam hasil
persilangan beberapa nomor klon Sca, Na, dan Pa serta Amelonado untuk
menghasilkan biji hibrida F1 unggul. Demikian juga klon-klon anjuran Prang
Besar Clones (PBC) dengan berbagai nomor hasil seleksi.
Di Jawa Timur dilakukan
hal sama dengan menyilangkan klon DR serta Sca. Di PT Perkebunan VI usaha
mendapatkan bahan tanam unggul dilaksanakan dengan menyeleksi bahan tanam biji
hibrida F1 untuk menghasilkan bahan tanam biji hibrida F2. Di PT perkebunan II,
pembangunan Kebun Benih Cokelat yang mengelola sepuluh klon dengan berbagai
nomor dari TSH, Sca, serta Pa, dan ICS telah menghasilkan bahan tanam hibrida
F1 (identified hybrids).
Saat ini, dari hasil
ekspedisi yang dilaksanakan oleh London Cocoa Trade sepanjang tahun 1980 – 1983
teah dikoleksi 250 bahan tanam vegetatif dari daerah pusat pertanaman cokelat.
Sebanyak 577 buah dari 578 pohon telah pula disimpan di Brazilia, ia sebagai
koleksi berbagai jenis cokelat. (Tumpal H.S. Siregar, 2006)
2.1.2.
Morfologi
Cokelat telah dikenal
di Indonesia sejak tahun 1560, tetapi baru
menjadi komoditi yang penting sejak tahun 1951. Pemerintah mulai menaruh
perhatian dan mendukung industri cokelat pada tahun 1975 setelah PTP VI
berhasil menaikkan produksi cokelat per Ha, dengan menggunakan bibit Upper
Amazone Interclonal Hybrid, yang merupakan hasil persilangan antarklon dan
sabah. (Tumpal H.S. Siregar 2006)
A. Akar
Akar cokelat
adalah akar tunggang (radix primaria). Pertumbuhan akar cokelat bisa sampai 8
meter kearah samping dan 15 meter kearah bawah. Cokelat yang diperbanyak secara
vegetatif pada awal pertumbuhannya tidak menumbuhkan akar tunggang, melainkan
akar-akar serabut yang banyak jumlahnya. Setelah dewasa tanaman tersebut menumbuhkan
dua akar yang menyerupai akar tunggang.
Perkembangan
akar sangat dipengaruhi oleh struktur tanaman, air tanah, dan aerasi didalam
tanah. Pada tanah yang drainasenya jelek dan permukaan air tanahnya tinggi,
akar tunggang tidak dapat tumbuh lebih dari 45 cm. Hal yang sama juga akan
terjadi bila air permukaan tanah terlalu dalam. Percobaan di Malaysia memberi
petunjuk bahwa air tanah yang baik untuk pertumbuhan akar bibit cokelat adalah
25 – 64 cm. Keterbatasan akar cokelat untuk berkembang pada tanah yang
permukaan airnya ekstrem menjadi faktor pembatas penanaman cokelat di daerah
pantai. Akar kecambah yang telah berumur 1 – 2 minggu biasanya menumbuhkan
akar-akar cabang (radix lateralis).
Dari akar cabang ini tumbuh akar-akar rambut (Fibrillia) yang jumlahnya sangat banyak. Pada bagian ujung akar itu
terdapat bulu akar yang dilindungi tudung akar (calyptra). Bulu akar inilah yang berfungsi untuk menghisap larutan
dan garam-garam tanah. Diameter bulu akar hanya10 mikron dan panjangnya
maksimum hanya 1 mm.
Cokelat akan
mempunyai perakaran lengkap setelah tanaman berumur 3 tahun, tetapi hal ini
masih bergantung pada faktor-faktor tanah dan jenis tanaman serta pemupukannya.
Pada akar cokelat terdapat juga jamur mikoriza yang berperan dalam penyerapan
hara tertentu, terutama fosfor.
B. Batang
Cokelat dapat tumbuh
sampai ketinggian 8 – 10 meter dari pangkal batangnya pada permukaan tanah.
Tanaman cokelat punya kecenderungan tumbuh lebih pendek bila ditanam tanpa
pohon pelindung. Diawal pertumbuhannya tanaman cokelat yang diperbanyak melalui
biji akan menumbuhkan cabang-cabang primer. Letak cabang-cabang primer itu
tumbuh disebut jorquette, yang
tingginya dari permukaan tanah 1 – 2 meter. Ketinggian jorquette yang ideal adalah 1,2 – 1,5 meter agar tanaman dapat
menghasilkan tajuk yang baik dan seimbang.
Pada tanaman cokelat
yang diperbanyak secara vegetatif tidak didapati jorquette. Cabang-cabang primer tumbuh dari pangkal batang dekat
permukaan tanah sehingga ketinggian tanaman relatif lebih rendah dari tanaman
cokelat asal biji. Untuk mebentuk habitat yang baik, dibutuhkan seleksi cabang
dan pemangkasan yang teratur.
Dari batang maupun
cabang acapkali tumbuh tunas-tunas air (chupon).
Bila tunas air ini dibiarkan tumbuh akan membentuk jorket kembali. Tunasa air
tersebut juga menyerap banyak energi sehingga bila dibiarkan tumbuh akan
mengurangi pembungaan dan pembuahan. Karena itu, tunas air harus ditunas secara
berkala.
Ditinjau
dari tipe pertumbuhannya, cabang-cabang pada tanaman cokelat tumbuh kearah atas
maupun samping. Cabang-cabang yang tumbuh kearah samping disebut cabang-cabang plagiotrop dan cabang-cabang yang tumbuh
kearah atas disebut cabang-cabang orthotrop.
C. Daun
Daun cokelat terdiri
atas tangkai daun dan helai daun. Panjang daun berkisar 25-34 cm dan lebarnya
9-12 cm. Daun yang tumbuh pada ujung-ujung tunas biasanya berwarna merah dan
disebut daun flush, permukaannya
seperti sutera. Setelah dewasa, warna daun akan berubah menjadi hijau dan
permukaannya kasar. Pada umumnya daun-daun yang terlindung lebih tua warnanya
bila dibandingkan dengan daun yang langsung terkena sinar matahari.
Mulut daun (stomata) terletak pada bagian bawah
permukaan daun. Jumlah mulut daun sangat bergantung pada intensitas sinar
matahari. Karena cokelat termasuk tanaman lindung, aka pengaturan pertumbuhan
tanaman cara penguranagan daun untuk menyerap sinar matahari akan sangat
menentukan pembungaan dan pembuahan. Dari hasil penelitian Djati Roenggo
diperoleh hasil rata-rata bahwa permukaan bawah daun cokelat mempunyai 70 stomata
per mm2.
Kedudukan daun cokelat
pada cabang primer maupun sekunder terdiri atas dua tipe, masing-masing 3/8 dan
1/2. Kedudukan daun 3/8 didapati pada cabang ortotrop dan kedudukan daun ½
didapati pada cabang plagiotrop.
D. Bunga
Jumlah bunga cokelat
mencapai 5.000-12.000 bunga per pohon per tahun, tetapi jumlah buah matang yang
dihasilkannya hanya berkisar satu persen saja.
Bunga cokelat tergolong
bunga sempurna, terdiri atas daun kelopak (calyx)
sebanyak 5 helai, dan benang sari (androecium)
sejumlah 10 helai. Diameter bunga 1,5 cm. Bunga disangga oleh tangkai bunga
yang panjangnya 2-4 cm. Tangkai bunga tersebut tumbuh dari bantalan bunga pada
batang atau cabang. Bantalan bunga pada cabang akan menumbuhkan bunga ramiflora sedangkan bantalan bunga pada
batang akan menumbuhkan bunga cauliflora,
yang diameter serbuk sarinya hanya 2-3 mikron.
Daun kelopak bunga (calyx) berbentuk lanset, panjangnya 6-8
m. Warna daun kelopak putih dan kadang-kadang makin keujung warnanya ungu kemerahan.
Daun mahkota (corolla) berbentuk
cawan, panjang 8-9 mm. Warna daun mahkota putih kekuningan atau putih
kemerahan. Benang sari (androecium)
tersusun dalam dua lingkaran. Satu lingkaran terletak dilekungan mahkota.
Ukurannya pendek dan tidak keluar dari bunga, berbentuk pita dan berwarna
kuning. Lingkaran kedua terdiri atas 5 helaian yang tidak mengandung tepung
sari, terletak disebelah dalam. Ukurannya panjang dan tumbuh keluar dari bunga.
Daun buah (gynoecium) terdiri atas 5
helai dengan tepi saling berlekatan untuk membentuk bakal buah (ovarium) beruang satu.
Penyerbukan bunga
cokelat dibantu oleh serangga. Sebanyak 75% dari bunga yang menyerbuk diketahui
dibantu oleh serangga Forcipomya spp
sedangkan 25% lagi oleh serangga lain yang didapati pada bunga. Ada 3 ordo
serangga penyerbuk pada tanaman cokelat, yaitu Homoptera, Hymenoptera,
dan Diptera. Forxipomya spp sendiri diketahui terdiri atas 16 subgen. Umumnya
serangga Toxopera aurintii box, Tyora
tessmani, Crematogester dpressa,Crematogester clariventis, dan Cecidomyiid, serta Drosophila terdapat pada bunga yang siap diserbuki.
Dari hasil penelitian
diketahui bahwa serangga Forcipomya
spp atau serangga lainnya hinggap pada bunga cokelat dan kemudian tanpa sengaja
menyerbukannya karena tertarik pada garis merah yang terdapat pada staminodia
dan pada kerudung penampung bunga. Penyerbukan biasanya berlangsung pada pagi
hari, yaitu pada pukul 7.30-10.30. Lingkungan yang lembab, dingin dan gelap
karena tajuk sudah tumbuh rapat merupakan kondisi yang disenangi serangga
tersebut. Lingkungan hidup serangga penyerbuk, terutama Forcipomya spp, adalah bahan – bahan organik yang lembab dan gelap
seperti daun –daun busuk, sisa-sisa kulit buah, atau batang pisang yang
dibiarkan busuk dilapangan. Forcipomya
spp betina lebih sering mengunjungi bunga daripada yang jantan, karena yang
betina membutuhkan protein untuk pematangan telur
E. Buah
Buah
cokelat berupa buah buni yang daging bijinya sangat lunak. Kulit buah mempunyai
10 alur dan tebalnya 1-2 cm. Pada waktu muda, biji menempel pada bagian dalam
kulit buah, tetapi bila buah telah matang maka biji akan terlepas dari kulit
buah. Buah yang demikian akan berbunyi jika digoncang.
Jumlah bunga yang
menjadi buah sampai matang dan jumlah biji didalam buah serta berat biji
merupakan faktor-faktor yang menentukan produksi. Buah muda yang ukurannya
kurang dari 10 cm disebut cherelle
(buah pentil). Buah muda ini acapkali
mengalami pengeringan (cherelle wilt)
sebagai gejala yang spesifik dari cokelat. Gejala demikian disebut physiological effect thinning, yakni
adanya proses fisiologis yang menyebabkan terhambatnya penyaluran hara untuk
menunjang pertumbuhan buah muda. Gejala tersebut bisa juga dikarenakan adanya
kompetisi energi antara vegetatif dan generatif atau karena adanya pengurangan
hormon yang dibutuhkan untuk pertumbuhan buah muda.
Didalam setiap buah
terdapat 30-50 biji, bergantung pada jenis tanaman. Sedangkan berat kering atau
satu biji cokelat yang ideal adalah 1 + 0,1 gram. Beberapa jenis tanaman
cokelat yang menghasilkan buah yang banyak tetapi bijinya kecil, dan
sebaliknya.
Perubahan warna kulit
tongkok dapat dijadikan tanda kematangan buah. Terdapat buah yang berwarna
hijau tua, hiaju muda, atau merah pada waktu muda, tetapi akan berwarna kuning
bila telah matang.
2.2.Syarat
Tumbuh
Sejumlah faktor
iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman cokelat.
Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah
hujan, temperatur, dan sinar matahari menjadi bagian dari faktor iklim yang
menentukan. Demikian juga faktor fisik dan kimia tanah yang erat kaitannya
dengan daya tembus (penetrasi) dan
kemampuan akar menyerap hara.
Ditinjau dari
wilayah penanamannya, kakao ditanam di daerah‐daerah yang berada pada 100 LU sampai
dengan 100 LS. Walaupun demikian penyebaran pertanaman kakao secara umum berada
pada daerah‐daerah
antara 70 LU sampai dengan 180 LS. Hal ini tampaknya erat kaitannya
dengandistribusi curah hujan dan jumlah penyinaran matahari sepanjang tahun.
2.2.1. Curah Hujan
Hal terpenting dari
curah hujan yang berhubungan dengan pertanaman kakao adalah distribusinya
sepanjang tahun. Hal tersebut berkaitan dengan masa pembentukan tunas muda (flushing) dan produksi. Areal penanaman
kakao yang ideal adalah daerah‐daerah
bercurah hujan 1.100 ‐
3.000 mm per tahun.
Disamping kondisi fisik
dan kimia tanah, curah hujan yang melebihi 4.500 mm per tahun tampaknya
berkaitan dengan serangan penyakit busuk buah (black pods).
Didaerah yang curah
hujannya lebih rendah dari 1.200 mm per masih dapat ditanami kakao, tetapi
dibutuhkan air irigasi. Hal ini disebabkan air yang hilang karena transpirasi
akan lebih besar daripada air yang diterima tanaman dari curah hujan, sehingga
tanaman perlu dipasok dengan air irigasi.
2.2.2. Temperatur
Pengaruh temperatur
pada kakao erat kaitannya dengan ketersediaan air, sinar matahari, dan
kelembaban. Faktor‐faktor
tersebut dapat dikelola melalui pemangkasan, penanaman tanaman pelindung, dan
irigasi. Temperatur sangat berpengaruh pada pembentukan flush, pembungaan,
serta kerusakan daun.
Menurut hasil
penelitian, temperatur ideal bagi pertumbuhan kakao adalah 30o‐32oC
(maksimum) dan 18o‐21o
(minimum). Cokelat juga dapat tumbuh
dengan baik pada temperatur minimum 15oC per bulan dengan temperatur
minimum absolut 10oC per bulan.
Temperatur yang lebih
rendah dari 10o akan mengakibatkan gugur daun dan mengeringnya bunga,
sehingga laju pertumbuhannya berkurang. Temperatur yang tinggi akan memacu
pembungaan, tetapi kemudian akan segera gugur. Pembuangan akan lebih baik jika
berlangsung pada temperatur 26o – 30o C pada siang hari
dibandingkan bila terjadi pada temperatur 23oC. Demikian juga
temperatur 26oC pada malam hari masih lebih baik pengaruhnya
terhadap pembungaan daripada temperatur 23o – 30o C.
Jumlah flush maupun luas daun lebih
besar pada suhu rendah, demikian juga waktu hidupnya.
2.2.3. Sinar Matahari
Lingkungan hidup alami
tanaman kakao adalah hutan tropis yang di dalam pertumbuhannya mebutuhkan
naungan untuk mengurangi pencahayaan penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak
menyoroti tanaman kakao akan mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan
tanaman relatif pendek.
Trinidad dan Ghana
merupakan daerah pertama yang mula-mula dicoba untuk penanaman cokelat tanpa
naungan. Dari percobaan tersebut diperoleh hasil bahwa cokelat yang ditanam
dibawah sinar matahari langsung ternyata lebih tinggi produksinya. Walaupun
demikian pembibitan masih memerlukan naungan, karena benih cokelat akan lebih
lambat pertumbuhannya pada pencahayaan sinar matahari penuh.
Pemanfaatan cahaya
matahari semaksimal mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan intersepsi cahaya dan
pencapaian indeks luas daun (ILD) optimum. Hal itu dapat diperoleh dengan
penataan naungan atau pohon pelindung serta penataan tajuk melalui pemangkasan.
Cokelat tergolong
sebagai tanaman C3 yang mampu berfotosintesis pada suhu daun rendah.
Fotosintesis maksimum diperoleh pada saat penerimaan cahaya pada tajuk sebesar
20% dari pencahayaan penuh. Kejenuhan cahaya di dalam fotosintesis setiap daun
kakao yang telah membuka sempurna berada pada kisaran 3‐30 persen cahaya
matahari penuh atau pada 15 persen cahaya matahari penuh. Hal ini berkaitan
pula dengan pembukaan stomata yang menjadi lebih besar bila cahaya yang
diterima lebih banyak.
2.2.4. Tanah
Tanaman kakao
dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asal persyaratan fisik dan kimia tanah
yang berperan terhadap pertumbuhan dan produksi kakao terpenuhi. Kemasaman
tanah (pH), kadar zat organik, unsur hara, kapasitas adsorbsi, dan kejenuhan
basa merupakan sifat kimia yang perlu diperhatikan, sedangkan faktor fisiknya
adalah kedalaman efektif, tinggi permukaan air tanah, drainase, struktur, dan
konsistensi tanah. Selain itu kemiringan lahan juga merupakan sifat fisik yang
mempengaruhi pertumbuhan dan pertumbuhan kakao.
A. Sifat
Kimia
Tanaman kakao dapat
tumbuh dengan baik pada tanaman yang memiliki pH 6 ‐ 7,5; tidak lebih
tinggi dari 8 serta tidak lebih rendah dari 4; paling tidak pada kedalaman 1
meter. Hal ini disebabkan terbatasnya ketersediaan hara pada pH tinggi dan efek
racun dari Al, Mn, dan Fe pada pH rendah.
Disamping faktor
keasaman, sifat kimia tanah yang juga turut berperan adalah kadar zat organik.
Kadar zat organik yang tinggi akan meningkatkan laju pertumbuhan pada masa
sebelum panen. Untuk itu zat organik pada lapisan tanah setebal 0 ‐ 15 cm sebaiknya lebih
dari 3 persen. Kadar tersebut setara dengan 1,75 persen unsur karbon yang dapat
menyediakan hara dan air serta struktur tanah yang gembur.
Usaha meningkatkan
kadar organik dapat dilakukan dengan memanfaatkan serasah sisa pemangkasan
maupun pembenaman kulit buah kakao. Sebanyak 1.990 kg per ha per tahun daun
gliricida yang jatuh memberikan hara nitrogen sebesar 40,8 kg per ha, fosfor
1,6 kg per ha, kalium 25 kg per ha, dan magnesium 9,1 kg per ha. Kulit buah
kakao sebagai zat organik sebanyak 900 kg per ha memberikan hara yang setara
dengan 29 kg urea, 9 kg RP, 56,6 kg MoP, dan 8 kg kieserit. Sebaiknya tanah‐tanah yang hendak
ditanami kakao paling tidak juga mengandung kalsium lebih besar dari 8 Me per
100 gram contoh tanah dan kalium sebesar 0,24 Me per 100 gram, pada kedalaman 0
‐ 15 cm.
B. Sifat
Fisik
Tekstur tanah yang baik
untuk tanaman kakao adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30 ‐ 40 % fraksi liat, 50%
pasir, dan 10 ‐
20 persen debu. Susunan demikian akan mempengaruhi ketersediaan air dan hara
serta aerasi tanah. Struktur tanah yang remah dengan agregat yang mantap
menciptakan gerakan air dan udara di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi
akar. Tanah tipe latosol dengan fraksi liat yang tinggi ternyata sangat kurang
menguntungkan tanaman kakao, sedangkan tanah regosol dengan tekstur lempung
berliat walaupun mengandung kerikil masih baik bagi tanaman kakao.
Tanaman kakao
menginginkan solum tanah menimal 90 cm. Walaupun ketebalan solum tidak selalu
mendukung pertumbuhan, tetapi solum tanah setebal itu dapat dijadikan pedoman
umum untuk mendukung pertumbuhan kakao.
Kedalaman efektif
terutama ditentukan oleh sifat tanah, apakah mampu menciptakan kondisi yang
menjadikan akar bebas untuk berkembang. Karena itu, kedalaman efektif berkaitan
dengan air tanah yang mempengaruhi aerasi dalam rangka pertumbuhan dan serapan
hara. Untuk itu kedalaman air tanah disyaratkan minimal 3 meter.
C. Kriteria
Tanah
Goenadi dan Hardjono
(1985) menetapkan kriteria tanah berdasarkan sifat fisik dan kimianya sehingga
dikenal tanah-tanah yang sesuai, cukup sesuai, agak sesuai, kurang sesuai, dan
tidak sesuai bagi cokelat. Dengan menetapkan sebaran tingkat pembatas sifat
fisik dan kimia tanah, penetapan kriteria tanah tersebut dapat dijadikan
pedoman umum bagi rencana penanaman suatu areal apakah sesuai atau tidak bagi pertanaman
cokelat.
Di Ghana areal
penanaman tanaman kakao yang baik tanahnya mengandung fosfor antara 257 ‐ 550 ppm berbagai
kedalaman (0 ‐
127,5 cm), dengan persentase liat dari 10,8 ‐
43,3 persen; kedalaman efektif 150 cm; tekstur (rata‐rata 0‐50 cm di atas) SC, CL,
SiCL; kedalaman Gley dari permukaan tanah 150 cm; pH‐H2O (1:2,5) = 6 s/d 7;
zat organik 4 persen; K.T.K rata‐rata
0‐50 cm di atas 24 Me/100
gram; kejenuhan basa rata‐rata
0 ‐ 50 cm di atas 50%.
2.3.Perkembangan
Tanaman Kakao
Sejarah Cokelat masuk
ke Indonesia ternyata cukup panjang. Secara garis besar bisa terbagi menjadi
dua periode yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode setelah kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945. Walaupun bubuk cokelat telah dikenal sebagai
pencampur minuman oleh bangsa indian suku Maya di Amerika tengah sejak abad
sebelum masehi, namun baru abad ke-15 biji cokelat mulai di perkenalkan di
belahan dunia lain. Dengan kegunaannya sebagai upeti atau alat barter bernilai
tinggi, biji cokelat sebagai pencampur minuman diperkenalkan kepada bangsa
Spanyol.
Usaha pengembangan
pertanaman cokelat dirintis oleh bangsa Spanyol ke benua Afrika dan Asia. Di
Afrika, cokelat diperkenalkan pada abad ke-15 dengan daerah penanaman terutama
di Nigeria, Pantai Gading, dan Kongo. Pada waktu yang bersamaan cokelat juga di
perkenalkan di Asia, terutama daerah-daerah yang berdekatan dengan kawasan
pasifik.
2.3.1. Periode Sebelum Kemerdekaan
Republik Indonesia
A. Tahun
1560
Tanaman Kakao pertama
kali masuk ke Indonesia. Masuk melalui jalur Philipine dan tiba di Sulawesi
Utara. Asal dari biji Kakao ini dari Venezuela yang dibawa oleh pelaut-pelaut
Spanyol yang sedang berlayar mencari rempah-rempah di Nusantara. Tanaman Kakao
yang ditanam di Sulawesi Utara ini berjenis Criollo. Produksi cokelat ini
relatif rendah dan peka terhadap serangan hama dan penyakit, tetapi rasanya
enak. Jenis ini masih banyak terdapat di Sulawesi sampai sekarang.
B. Tahun
1806
Agak lama berselang,
tanaman Kakao baru diperkenalkan ke Jawa. Terutama di Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Seiring dengan perkembangan tanaman kopi di Jawa, tanaman Kakao ditanam
dengan naungan pohon kopi. Jenis yang ditanam di Jawa ini juga merupakan jenis
Criollo.
C. Tahun
1880
Tanaman Kakao jenis
Forastero mulai diperkenalkan di Indonesia. Jenis ini berasal dari Venezuela juga.
Berbentuk lebih bundar dan gemuk dibandingkan jenis Criollo. Jenis Forestero
mempunyai ketahanan terhadap hama yang lebih baik dibandingkan jenis Criollo.
Kekurangan jenis ini adalah rasa dan aromanya kalah jika dibandingkan dengan
jenis Criollo.
D. Tahun
1888
Tanaman Kakao jenis
Criollo Java mulai dikembangkan di Sulawesi dan kemudian diperkenalkan di Jawa.
Jenis ini merupakan mengembangan dari Criollo biasa yang berasal dari
Venezuela. Tahun 1888 tercatat sebagai tahun ke-77 masuknya cokelat ke Indonesia.
Adalah Dr. C.J.J. Van Hall orang yang pertama kali mengadakan seleksi terhadap
pohon induk di Djati Renggo dan Getas. Kedua nama kebun tersebut digunakan
untuk menamakan beberapa klon coklat jenis Criollo yang sampai saat ini masih
digunakan, dengan kode DR dan G berbagai nomor.
Dari hasil penelitian saat itu, direkomendasikan bahan tanam klon-klon
DR, KWC dan G dengan berbagai nomor.
E. Tahun
1914
Buku yang menceritakan
tentang Kakao Indonesia pertama kali muncul. Ditulis oleh Dr. J.C.C. Hall
berkebangsaan Inggris. Buku ini menceritakan tentang tanaman yang ada di
Nusantara dan salah satunya adalah Kakao. Dr. C.J.J. Van Hall. MacGillvray, Van
Der Knaap adalah peneliti-peneliti yang giat melakukan seleksi guna mendapatkan
bahan tanam unggul maupun klon induk pada awal pertanaman cokelat di Indonesia.
Baru pada tahun 1914, MacGillvray telah menulis buku mengenai cokelat, kemudian
dituliskannya lagi pada tahun 1932 sebagai edisi ke-dua.
F. Tahun
1938
Budidaya
Kakao mulai mengalami peningkatan yang pesat. Pada periode ini ada 29
perkebunan Kakao Indonesia yang tercatat. Perkebunan kakao ini terdistribusi :
13 perkebunan di Jawa Barat, 7 perkebunan di Jawa tengah, dan 9 perkebunan di
Jawa Timur. Perkembangannya juga di dorong oleh meluasnya penyakit karat daun kopi
oleh Hemeleia vastatrix, sehingga menyebabkan musnahnya areal pertanaman kopi
di Jawa. Disamping itu oleh perusahaan perkebunan, pengembangan usaha cokelat
juga dilakukan oleh petani pekebun, terutama di Jawa Barat.
2.3.2. Periode Setelah Kemerdekaan
Republik Indonesia
A. Tahun
1973
Mulai diperkenalkan
cokelat jenis Bulk melalui seleksi yang dilakukan oleh PT Perkebunan VI dan
Balai Penelitian Perkebunan (BPP) Medan. Cokelat jenis Bulk pada tahun
berikutnya memperkecil kemungkinan untuk memperluas penanaman cokelat jenis
Criollo. Seperti diketahui, cokelat jenis Bulk dikenal sebagai jenis cokelat
yang relatif tahan akan hama dan penyakit, produksinya tinggi walaupun rasanya
sedang-sedang saja.
Program pemuliaan PT
Perkebunan VI dan BPP Medan itu, yang tetuanya terdiri dari biji-biji campuran
Na, Pa, Sca, ICS, GG, DR, Poerboyo dan Getas, menghasilkan biji yang dikenal
dengan nama varietas sintetik 1, 2, dan 3. Tetua tersebut berupa biji illegitim
hibrida F1 dari Malaysia, yang ditanam sebanyak 150.000 pohon.
B. Tahun
1976
BPP
Jember juga melakukan program pemuliaannya dalam rangka untuk mendapatkan bahan
tanam hibrida. Pemuliaan ini bertujuan untuk menghasilkan bahan tanam biji
hibrida dengan efek heterosis. Sejumlah persilangan dari klon-klon ICS, Sca,
dan DR telah diuji untuk maksud itu. Secara bersamaan usaha untuk mendapatkan
bahan tanam klon yang dapat di jadikan sebagai induk maupun bahan tanam praktek
juga dilaksanakan di kebun Kaliwining Jember, dan Malangsari.
Di Sumatra Utara,
penelitian yang sama terus dilaksanakan dalam rangka pengembangan pertanaman
cokelat. Beberapa PT Perkebunan mulai melakukan penanaman cokelat Bulk, seperti
PT Perkebunan IV dan II. PT Perkebunan II bahkan melakukan perluasan penanaman
cokelat di Irian Jaya dan Riau serta membangun kebun benih cokelat di Maryke,
Medan. Pembangunan kebun benih cokelat tersebut dilaksanakan bersama P4TM
(Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa) Medan yang saat
ini telah menghasilkan bahan tanam biji hibrida, dengan tetua klon-klon Sca,
ICS, Pa, TSH, dan IMS. Biji-biji hibrida yang dihasilkan kebun benih cokelat
masih dalam tahap pengujian.
C. Tahun
1980
Bila pada tahun
1970-1977 produksi biji kakao indonesia hanya 2.000-3.000 ton, maka pada tahun
1980 angka itu melonjak menjadi 7.000 ton. Dengan produksi coklat dunia saat
ini 1.600.000 ton, maka potensi Indonesia sebagai penghasil cokelat masih baik
prospeknya. Bahkan pada periode tersebut, Indonesia sudah mulai menjadi negara
penghasil Kakao nomer 3 terbesar di dunia.
D. Tahun
2011
Pemerintah
Indonesia melalui Peraturan Pemerintah mulai mengurangi ekspor bahan mentah
berupa biji Kakao kering. Pemerintah berkeinginan agak biji kakao yang
dihasilkan di Indonesia bisa mulai diproduksi di Indonesia dan menjadi produk jadi
sebelum akhirnya di ekspor.
2.4.Pemeliharaan
2.4.1. Penyiraman
Pemberian air pada tanaman kakao
perlu dilakukan kalau tanaman memang membutuhkan. Penyiraman tanaman kakao yang
tumbuh dengan kondisi tanah yang baik dan berpohon pelindung, tidak perlu
banyak memerlukan air. Air yang berlebihan menyebabkan kondisi tanah menjadi
sangat lembab. Penyiraman pohon kakao dilakukan pada tanaman muda terutama
tanaman yang tak diberi pohon pelindung.Penyiraman juga dapat dilakukan 2 kali
sehari (pagi dan sore) sebanyak 2-5 liter/pohon.
2.4.2. Pemupukan
Cokelat dipupuk
setelah berumur dua bulan dilapangan. Pada TBM, pemupukan diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan
vegetatif dan diharapkan mempertahankan daya tahan tanaman terhadap hama dan
penyakit.
Sisa pemangkasan
dan kulit buah cokelat yang dibenamkan kedalam tanah juga merupakan sumber hara
bagi tanaman cokelat. Kulit buah cokelat pada tanaman TM mengandung Nitrogen,
Fosfor, Kalium, Magnesium, dan Kalsium setara dengan urea, RP, MoP, dan
kieserit yang dibutuhkan tanaman cokelat.
Pemupukan pada
TBM dilakukan dengan cara menaburkan pupuk secara merata dengan jarak 15 – 50
cm (untuk umur 2 – 10 bulan) dan 50 – 75
cm (untuk umur 14 – 20 bulan) dari batang semua. Untuk TM penaburan pupuk
dilakukan pada jarak 50 – 75 cm dari batang utama.
2.4.3. Pengendalian Hama Penyakit
Produksi kakao di
Indonesia dihasilkan dari perkebunan besar negara, swasta (di Sumatera dan
Jawa) dan perkebunan rakyat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan,
lebih dari 80 % produksi kakao kita berasal dari perkebunan rakyat, yang
umumnya baik jumlah maupun kualitasnya masih belum optimal, karena masih
menggunakan cara-cara yang tradisional. Maka untuk meningkatkan produksi dan
kualitas kakao Indonesia, diperlukan pembinaan secara terus menerus khususnya
pada para petani, terutama dalam teknologi budidaya kakao yang baik antara lain
melalui pengendalian hama dan penyakit tanaman kakao itu sendiri. Agar tanaman
kakao dapat berproduksi secara optimal, sebaiknya harus dilakukan pengendalian
terhadap berbagai gangguan hama danpeyakit yang menyerang tanaman.
A. Hama
Tercatat
ada 15 hama penggerek batang dan cabang, 11 hama penggerek daun, 8 hama
penghisap daun, dan 1 hama pada buah sebagai hama penting pada tanaman cokelat
di Indonesia.
1. Helopeltis
sp. ( Hemiptera, Miridae )
Pengendalian secara
kimiawi terutama ditujukan kepada sistem pengamatan serangan sehingga
penggunaan insektisida akan efektif dan efisien. Early warning system (EWS) merupakan suatu sistem yang dinilai
baik. Didalam sistem ini areal cokelat dibagi menjadi subplot, masing-masing
subplot seluas 5 ha. Didalam tiap subplot terdapat 4 kelompok pertanaman
cokelat yang berjarak sama (42,42 m x 42,42 m). Kelompok cokelat inilah yang
ditetapkan sebagai pohon pengamatan. Pengamatan ditujukan kepada ada tidaknya Helopeltis sp. pada buah atau pucuk.
Nilai 1 diberikan kepada kelompok pohon pengamatan yang didapati 1 serangga,
nilai 2 untuk 2 serangga, dan seterusnya. Namun nilai 5 diberikan kepada
kelompok pohon pengamatan yang dihuni oleh serangga hama lebih dari 5 ekor.
Penyemprotan insektisida dilakukan pada kelompok pohon pengamatan dan pohon
disekitarnya.
Disamping itu,
pengendalian secara biologis juga memberi harapan untuk dikembangkan. Semit
hitam (Dolichoderus thoracicus) bisa
dimanfaatkan sebagai pengendali perkembangbiakan Helopeltis sp. Adanya kutu putih (Pseudoccus sp). pada buah maupun pucuk cokelat mengundang
kerumunannya semut hitam pada tanaman cokelat karena kandungan gula sekresi
kutu putih. Penanaman kelapa sebagai pelindung tetap yang diharapkan bisa menjadi
sarang tetap semut hitam juga sangat baik untuk dikembangkan guna mengendalikan
serangan Helopeltis sp. Sisa kulit
buah yang mengandung kutu putih yang disangkutkan pada pangkal buah cokelat
akan mengundang kehadiran semut hitam. Teknik ini sudah diketahui sejak tahun
40-an, dan bila dilakukan secara berkala akan dapat mengendalikan
perkembangbiakan serangga hama, terutama Helopeltis
sp.
2. Conopomorpha cramella
(Lepidoptera, Gracillariidae)
Hama ini dikenal juga
dengan nama Penggerek Buah Cokelat (PBC), cacao
mot, atau pod borer. PBC yang
menyerang pada areal pertanaman cokelat dapat dikendalikan dengan cara
merumpis. Caranya, seluruh buah dipetik, kemudian dibenamkan ke dalam tanah.
Didalam teknik bercocok
tanam usaha menanam tanaman tahan hama dan penyakit, terutama jenis Upper
American Hybrids, Forastero, atau cokelat jenis Bulk, dapat dilakukan sejak
awal. Cokelat jenis Criollo lebih peka terhadap serangan PBC karena kulitnya
lunak dan adanya lekukan-lekukan yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis
cokelat lainnya.
Usaha lain yang
dilakukan adalah dengan membungkus buah. Kantong plastik berukuran panjang 34
cm dan lebar 17 cm serta tebal 0,03 mm disarungkan menutupi buah dengan kedua
ujungnya terbuka. Pembungkusan hanya dilakukan terhadap buah yang panjangnya
sudah lebih dari 12 cm. Penanaman areal penyangga dengan kopi atau karet,
pembenaman kulit buah kedalam tanah setiap selesai pemecahan dilapangan, panen
yang berfrekuensi , dan mencegah pemindahan buah dari satu tempat ketempat lain
juga merupakan tindak pencegahan penyebaran PBC.
Pengendalian PBC secara
kimiawi juga dapat dilakukan dengan penyemprotan insektisida organochlorine atau pyrethroid sintetik, misalnya menggunakan Cyfluthrin 10 – 15 cc per 10
liter ai denganelang waktu penyemprotan 10 – 14 hari. Alat yang digunakan
adalah mist blower.
3. Zeuzera
sp. (Lepidoptera, Cossidae)
Pengendalian serangan
hama penggerek jenis ini dapat dilakukan dengan memotong cabang terserang
sepanjang 30 cm dari lubang tempat masuknya. Cabang dikumpulkan kemudian
dibakar, penggunaan insektisida organoklorin atau organofosfat sistemik pada
lubang yang digerak dapat membunuh ulat.
4. Darna trima
(Lepidoptera, Limacodidae)
Hama ini juga dikenal
dengan nama ulat api. Serangannya mampu mengakibatkan rontoknya daun cokelat.
Pada awal serangan, daging daun dimakan sehingga warna daun menjadi kuning.
Sambil makan daun, Darna trima mengeluarkan cairan. Serangannya bukan saja
terhadap beberapa helai daun, tetapi meliputi seluruh daun cokelat.
Disamping menggunakan
insektisida, pengendaliannya dapat dilakukan dengan meningkatkan sanitasi
dibawah pohon cokelat.
5. Hyposidra talaca
(Lepidoptera, Geomitridae)
Atau lebih dikenal
dengan nama ulat jengkal. Pengendaliannya dengan menyemprotkan insektisida
berbahan aktif Dekametrin (misalnya Decis 2,5 EC), sihalotrn (Matador 25 EV),
sipermetrin (Cymbush 5 EC), metomil Nudrin 24 WSC/Lannate 20 L), dan fenitron
(Karbation 50 EC). Pengendalian khususnya dilakukan pada saat ulat baru menetas
didaun lamtoro. Oleh karena itu, pengaturan tinggi lamtoro perlu diperhatian
untuk mengendalikan serangan hama ini. Penyemprotan insektisida dianjurkan 2 –
3 kali mengingat adanya berbagai stadia pada waktu yang sama. Perbaikan
sanitasi areal pertanaman cokelat, khususnya serasah, juga merupakan tindak
pengendalian Hyposidra talaca. Dengan
menyapu sersah maka perkembangan pupa dapat dikendalikan.
6. Apogonia
sp. (Scarabaeidae, Melolonthinae)
Pengendalian dapat
dilakukan dengan menyemprotkan insektisida sistemik jenis monocrotophos, dicrotophos,
dimethoate, dan acephate. Penyemprotan sebaiknya dilakukan pada malam hari, saat Apogonia sp. aktif. Perlindungan dengan
pelepah kelapa sawit yang ditancapkan disekeliling cokelat muda juga terbukti
dapat menurunkan tingkat serangan Apogonia sp. Di samping itu, pengecatan
batang cokelat muda setinggi 15 cm dari permukaan tanah dengan acephate atau
monocrotophos juga telah terbukti dapat mengendalikan serangan hama ini.
Parasit seperti Tiphia (Hymenoptera,
Tiphiidae) yang biaa dimanfaatkan di Malaysia, prosenasiberita F., dan Masicerna
sp. dijawa memberi petunjuk bahwa Apogonia
sp. dapat dikendalikan secara hayati.
B. Peyakit
Agar tanaman kakao
dapat berproduksi secara optimal, sebaiknya harus dilakukan pengendalian
terhadap berbagai gangguan peyakit yang menyerang tanaman, seperti : 1)
penyakit busuk buah dan kanker batang (Phytopthora palmivora); 2) penyakit
antraknose (Colletotrichum gloeosporiodes); 3) penyakit Vascular Streak Dieback
(VSD); 4); penyakit Cocoa Swolen Shoot Virus (CSSV); dan 5) penyakit Monila Pod
Rod.
1. Penyakit
busuk buah dan kanker batang (Phytopthora palmivora)
Pengendalian penyakit
ini dilakukan dengan cara mengurangi kelembaban kebun dengan cara memperbaiki
drainase, mengurangi naungan, membrantas gulma dan melakukan pemangkasan; Buah-buah
yang busuk diambil secara teratur misalnya empat hari sekali dan buah tersebut harus
dikubur sedalam 30 cm; kanker batang dapat dikendalikan dengan mengupas kulit
yang sakit sampai pada batasan yang sehat, kemudian bagian tersebut diolesi
dengan fungsida Cupravit (tembaga oksida), Copper Sandos (tembaga oksiklorida)
dengan konsentrasi 5-10% formulasi; serta penyakit buah busuk dapat
dikendalikan dengan penyemprotan fungisida Copper Sandos, Cupravit dan Rocide
(tembaga oksida, tembaga oksiklorida, tembaga hidroksida), dengan konsentrasi
0,3% formulasi. Penyemprotan menggunakan alat semprot knapsack sprayer dengan
volume semprot 500 liter/ha dengan interval dua minggu. Pada musim hujan
diperlukan 4-6 kali penyemprotan.
2. Penyakit
Antraknose (Colletotrichum gloeosporiodes)
pengendalian penyakit
ini dilakukan dengan cara :
a. Pemangkasan
ranting sakit dan pemetikan buah sakit, kemudian dikubur dalam tanah.
Pelaksanaan dapat dilakukan bersamaan saat pemangkasan, pemanenan, maupun pada
saat pengambilan buah busuk karena Phytopthora palmivora;
b. Pemberian
pupuk kandang sekitar 25 kg per pohon dan pemupukan secara berimbang;
c. Pemberian
penaung yang cukup yaitu sekitar 25% untuk tanaman dewasa. Bila menggunakan
pohon lamtoro yang tahan kutu loncat, maka populasi minimum 250 pohon/ ha;
d. Melakukan
penyemprotan dengan fungisida yang dianjurkan yaitu fungisida sportak
(prokloras) dengan konsentrasi 0,3% formulasi atau dengan belerang sirus dengan
dosis 15-20 kg/ha. Penyemprotan diarahkan pada flush yang masih berukuran
sekitar 5 cm. Bila tanaman sudah tinggi, maka alat semprot perlu menggunakan
tangkai panjang. Belerang diaplikasikan pagi hari pada saat masih ada embun. Pada
setiap periode flush, dilakukan 2-3 kali penyemprotan dengan interval satu
minggu.
3. Penyakit
Vascular Streak Dieback (VSD)
Penyakit ini
dikendalikan dengan cara memotong ranting dan cabang tanaman yang terserang
sampai bagian yang masih sehat (sekitar 30cm dari batas gejala garis-garis
cokelat pada jaringan yang tampak). Selanjutnya ranting atau cabang yang telah
dipotong dibakar atau dipendam dalam tanah; serta mengurangi kelembaban kebun
antara periode flush pada musim hujan dengan cara pemangkasan tanaman kakao,
tanaman penaung dan memperbaiki saluran drainase.
4. Penyakit
Cocoa Swolen Shoot Virus (CSSV)
Untuk mencegah
meluasnya penyakit CSSV ke daerah yang belum terinfeksi maka perlu diperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
a.
Dilarang membawa buah, biji, tunas muda,
dan daun kakao ke daerah/kebun yang belum terinfeksi. Sekali tanaman kakao
terinfeksi CSSV, maka butuh waktu 2 tahun sebelum gejala awal muncul.
b.
Dilarang memindahkan bahan tanaman
sakit, serangga, sampel tanah dari kebun yang terinfeksi kecuali dibawah
pengawasan pakar peneliti.
c.
Gunakan selalu sepatu bot yang mudah
dibersihkan dan basuh kedua tangan dengan alkohol setelah memegang bahan
tanaman sakit.
d.
Bersihkan semua peralatan sebelum masuk
ke kebun.
e.
Minimalkan jenis dan jumlah peralatan
yang akan digunakan di kebun untuk menurunkan resiko kontaminasi.
Sedangkan untuk
kebun-kebun yang sudah terinfeksi CSSV maka langkah pengendalian yang dapat
dilakukan antara lain:
a.
Tanaman kakao sakit diupayakan untuk
dibongkar (eradikasi) untuk menghilangkan sumber inokulum. Dalam upaya ini
perlu diingat bahwa biaya yang diperlukan tidak sedikit dan seringkali
mengakibatkan pertentangan politik dalam negeri.
b.
Serangga vektor dikendalikan dengan
memanfaatkan baik agens pengendali hayati (APH)maupun pestisida nabati.
Penggunaan insektisida kimia yang bersifat sistemik dianjurkan bila telah
terjadi serangan endemik.
c.
Melakukan inokulasi silang
(preimunisasi) dengan menggunakan strain virus yang avirulen untuk melindungi
tanaman kakao dari virus yang virulen.
d.
Dilakukan upaya cordon sanitaire, yaitu
suatu jalur yang bebas dari CSSV untuk mengisolir kebun-kebun yang terinfeksi.
e.
Menggunakan bibit kakao yang berasal
dari Somatic Embryogenesis (SE) untuk menurunkan tingkat infeksi CSSV.
5. Penyakit
Witchers Broom Diseases (WBD)
Penyakit ini
dikendalikan dengan cara : 1) memotong cabang sepanjang 15 cm dari bagian yang
terinfeksi kemudian memusnahkannya dengan cara dibakar; 2) membuang buah muda
maupun dewasa yang berbecak/ terserang WBD dan memusnahkannya; 3) menanam bibit
yang tahan WBD seperti Sea 6 dan Sea 12 serta hibridanya yang disilangkan
dengan ICS 60.
6. Penyakit
Monila Pod Rod
Pengendalian penyakit
ini dilakukan dengan menyemprotkan insektisida yang mengandung tembaga dan
sulfur kearah buah yang masih mengalami bercak kecil. Penyemprotan dilakukan
satu kali setiap 10 - 14 hari. Untuk pencegahannya dapat dilakukan dengan cara
sanitasi areal pertanaman dan perumpisan buah terinfeksi. ( Timpal H.S.
Siregar, 2006)
2.4.4.
Pengendalian Gulma
Pegendallian
gulma dalam areal pertanaman coklat biasanya dilaksanakan pada masa TBM. Saat
iti tajuk belum saling bertemu sehingga masih ada jalur terbuka baik antar
barisan maupun didalam barisan itu sendiri.
Paspolum
sp, Axonopus compressus, eleusine indica, dan digitaria sp. Adalah gulma golongan rumpu-rumputan yang
umum di dapati pada areal coklat. Selain itu, Ageratum conyzorides dan mikania
sp. Juga merupakan gulma berdaun lebar. Pengendalian gulma dapat dilakukan
secara manual dan kimiawi di pembibitan, pada saat tanaman masih muda, maupun
pada areal TM yang ditumbuhi gulma yang tahan terhadap ketersediaan cahaya
minimum.
Di
bedeng pembibitan, pengendalian gulma secara kimiawi umumnya dilakukan
penyemprotan dengan herbisida pratumbuh. Penyemprotan herbisida pratumbuh
diareal pertanaman muda dapat menghambat pertumbuhan Paspalum conjagatum dan
Ageratum conyzoides selama 5 – 6 bulan. Bila pengendalian gulma itu dilakukan
dengan cara manual, diperlukan 10 – 15 hari kerja per ha.
Pengendalian
gulma pada areal cokelat muda terutama juga ditujukan untuk membersihkan
piringan tanaman dengan diameter 0,5 m. Disamping itu, pendongkelan anak kayu,
anakan cokelat yang tumbuh liar atau pemberantasan ilalang juga harus dilakukan
dengan selang waktu tertentu secara teratur.
2.5. Panen
Buah matang dicirikan
oleh perubahan warna kulit dan biji yang melepas dari kulit bagian dalam. Bila
buah di guncang, biji biasanya berbunyi. Buah yang tidak dipanen akan
mengakibatkan biji berkecambah didalam. Teknik memanen perlu diperhatikan
karena pemotongan tangkai buah yang keliru mengakibatkan bunga tidak tumbuh
lagi pada tempat tersebut. Pemanenan dapat berlangsung 10 – 21 hari sekali,
tergantung pada kepadatan buah matang dan luas areal pertanaman. Buah yang
telah dipanen kemudian dipecah. Pengolahan biji cokelat meliputi pembuangan
pulp, pematian biji, pembentukan aroma, pengeringan, dan kesesuian kandungan
biji serta berat keringnya sehingga siap digunakan untuk berbagai kebutuhan.
Ada 3 perubahan warna
kulit buah cokelat yang telah mengalami kematangan. Ketiga perubahan warna
kulit itu juga menjadi kriteria kelas kematangan buah dikebun-kebun yang
mengusahakan cokelat.
A. Teknik
Memetik Buah
Untuk memanen cokelat
digunakan pisau tajam. Bila buah tinggi, pisau disambung dengan bambu/ pisau
berbentuk huruf L, dengan bagian tengah agak melengkung. Selama memanen, buah
cokelat harus diusahakan untuk tidak melukai batang atau cabang yang akan
ditumbuhi buah. Pelukaan akan mengakibatkan bunga tidak akan tumbuh lagi pada
tempat tersebut untuk periode berikutnya.
Pemanenan buah cokelat
hendaknya dilakukan hanya dengan memotong tangkai buah tepat dibatang atau
cabang yang ditumbuhi buah. Dengan demikian, tangkai buah pun tidak tersisa
dibatang atau cabang sehingga tidak menghalangi pembungaan pada periode
berikutnya.
B. Organisasi
Pemanenan
Pada
areal yang cukup luas biasanya disiapkan suatu organisasi pemanenan dengan
melibatkan tenaga kerja khusus. Dibawah pimpinan seorang mandor, panen
dilakukan pada areal yang kepadatan buahnya sudah ideal untuk dipanen.
Seorang pemanen dapat
memanen 1.500 buah cokelat setiap harinya. Hal itu mengisyaratkan perlunya
perhitungan tenaga kerja yang tepat, disesuaikan dengan luas areal dan jumlah
buah matang.
Buah matang yang
kepadatanya cukup tinggi dapat dipanen dengan sistem 6/7. Artinya, areal panen
(kaveld), dipetik buahnya enam hari
didalam tujuh hari. Kepadatan buah matang yang rendah dapat dilaksanakan dengan
sistem 7/14. Artinya, areal panen dipetik buahnya tujuh hari didalam empat
belas hari atau dua hari sekali. Penetapan premi panen biasanya didasarkan atas
prestasi pemanen, produktivitas, dan tingkat harga biji cokelat.
C. Pemecahan
Buah
Buah yang telah dipanen
biasanya dikumpulkan pada tempat tertentu. Buah dikelompokan menurut kelas
kematangannya sehingga akan memudahka pengolahannya. Buah dipetik hingga pukul
12.00 untuk kemudian dipecah hingga pukul 12.00.
Pemecahan
kulit dilaksanakan dengan menggunakan kayu bulat yang keras. Seorang pemecah
terampil sudah akan dapat menggunakan parang tajam tapa mengakibatkan pelukaan
pada biji. Buah yang dipecah dipegang dengan menggunakan tangan kiri dengan
bagian pangkal menghadap kedalam. Buah kemudian dipukul kearah punggung buah
dengan arah miring.
Bila kulit telah
terbagi dua, kulit bagian ujung dibuang da tangan kanan menarik biji dari
plasenta. Biji kemudian ditempatkan diatas lembaran plastik yang telah
disiapkan atau didalam keranjang bambu yang diberi alas. Setelah pemecahan buah
selesai, kulit buah sebaiknya dibenamkan pada areal pertanaman. Penanaman kulit
buah kedalam tanah dimaksudkan sebagai penambah hara bagi tanaman dan juga
untuk menghindari infestasi penggerek buah cokelat (PBC) yang sangat merugikan.
2.6.Pasca
Panen
Setelah buah kakao
dipanen,hasil buah kakao akan diolah dengan melalui tahapan-tahapan sortasi
buah, pemeraman. pemecahan buah, fermentasi biji, pencucian , pengeringan dan
sortasi serta pengemasan dan penyimpanan biji kakao.
A. Sortasi
Buah
Sortasi yaitu
memisahkan buah yang baik dengan dengan buah yang rusak atau terserang hama/
penyakit. Buah yang terserang hama/ penyakit langsung dibuang dengan cara
membenamkannya ke dalam tanah. Selanjutnya buah yang baik diolah lebih lanjut
dengan pemeraman atau penyimpanan buah kemudian dipecahkan .
B. Pemeraman
atau Penyimpanan Buah
Pemeraman bertujuan
untuk memudahkan pengeluaran biji dari buah kakao. Caranya buah dimasukkan
dalam keranjang atau karung goni dan disimpan ditempat yang bersih dengan
dialasi daun-daunan ,kemudian tumpukan buah ditutup dengan daun-daunan . Waktu
pemeraman berkisar 5 - 12 hari tergantung kondisi setempat dan tingkat
kemasakan buah.
C. Pemecahan
Buah Kakao
Pemecahan
buah Kakao, dimaksudkan untuk mengeluarkan dan memisahkan biji kakao dari kulit
buah dan placentanya. Buah dipecah kulitnya dengan dipukul kearah punggung buah
arah miring menggunakan pemukul kayu yang bulat atau dengan memukulkan sesama
buah kakao. Dilakukan secara berhati-hati agar tidak melukai atau merusak biji
kakao. Bila kulit telah terbagi dua, diambil bijinya dan disimpan dalam plastik
atau dalam keranjang yang diberi alas. Setelah pemecahan buah selesai, kulit
buah dibenamkan pada tanah areal pertanaman yang dapat sebagai penambah hara
bagi tanaman sedalam 0,5 m. Selanjutnya pisahkan biji yang cacat dengan biji
yang baik. Fermentasikan biji yang baik, sedangkan biji yang cacat langsung
dikeringkan.
D. Fermentasi
Biji Kakao
Merupakan inti pengolahan
biji kakao, karena dalam proses ini terbentuknya cita rasa khas coklat. mutu,
aroma dan warna coklat cerah dan bersih ,pengurangan rasa pahit dan sepat serta
perbaikan kenampakan fisik biji. Proses fermentasi dapat dilakukan didalam
wadah fermentasi dapat berupa keranjang bambu atau kotak kayu/ peti yang
berlubang disisinya dengan jarak lubang 10 -15 cm dengan diameter 1 cm .Kotak
fermentasi sebaiknya dibuat ukuran 40 x 40 cm, tinggi 50 cm untuk skala kecil.
Sedang skala besar lebar 100 - 120 cm, panjang 150 - 165 cm, tinggi 50 cm. Cara
fermentasi dengan menumpuk biji kakao dengan daun pisang dalam keranjang bambu
atau dimasukkan ke dalam kotak kayu atau bisa juga dengan menumpuk diatas
ranting-ranting kayu yang dialasi dengan daun pisang, kemudian ditutup dengan
daun pisang. Tinggi minimum tumpukan biji dalam kotak 40 cm. Selama fermentasi,
biji dihindarkan bersinggungan dengan logam. Biji dibalikkan setelah 48 jam (
hari ke 3) proses fermentasi. Proses fermentasi biasanya berlangsung 4 -6 hari.
Setelah hari ke 6 biji-biji dikeluarkan dan siap untuk dijemur.
E. Perendaman
dan Pencucian Biji
Perendaman dan
pencucian tidak mutlak dilakukan tergantung permintaan konsumen. Biji kakao
dari buah yang sudah diperam selama 5 - 12 hari tidak perlu dicuci karena kadar
kulitnya sudah rendah. Pencucian bertujuan untuk menghentikan proses
fermentasi, mengurangi lapisan lendir agar pengeringan dapat dipercepat, kadar
kulit lebih rendah dan rupa luar lebih menarik. Biasanya biji yang mengalami
pencucian menghasilkan kulit biji yang tipis sehingga rapuh dan mudah
terkelupas. Sedangkan biji yang tanpa pencucian memiliki rendemen yang tinggi
dan kulitnya tidak rapuh. Aroma biji tanpa pencucian juga lebih baik karena
tidak ada bagian yang dibilas air. Pencucian yang terlalu bersih dapat
menghilangkan selaput lendir dan kehilangan berat serta membuat kulit biji
mudah terkelupas. Oleh karena itu disarankan melakukan pencucian setengah
bersih agar kenampakan baik, pengeringan cepat dan tidak terlalu menurunkan
rendemen (berat). Sebelum dicuci, biji kakao direndam lebih dahulu selama 2 jam
untuk meningkatkan jumlah biji bulat, kenampakan menarik. Pencucian dilakukan
secara manual dengan tangan atau dengan dengan mesin cuci selama 1 jam.
F. Pengeringan
Setelah biji dicuci,
ditiriskan dan dikeringkan. Pengeringan dapat dilaksanakan dengan penjemuran
atau pengering buatan atau kombinasi keduanya. Tujuan pengeringan untuk
menurunkan kadar air dari 60 % menjadi 6 - 7 %. dan menyempurnakan pembentukan
aroma dan warna. Pengeringan dapat dilakukan dengan menjemur biji kakao dengan
menggunakan balai bambu setinggi 1 m dari tanah atau diatas terpal/ lantai
jemur. Tinggi tumpukan tidak lebih dari 3 lapis biji (tebal 3- 5 cm). Lama
penjemuran 6 hari sampai biji benar-benar kering. Dibalik 1- 2 jam sekali,
tergantung cuaca.Dengan pengeringan buatan pada temperatur 55 - 60 derajat
celcius selama 30 jam dengan pembalikan biji setiap 3 jam. Kriteria biji kering
: rapuh atau mudah patah.
Sortasi biji kering,
merupakan tahap terakhir dari pengolahan untuk menentukan mutu biji kakao.
Tujuannya untuk memisahkan biji kakao dari kotoran yang terikut, biji yang
pecah, rusak atau benda asing lainnya. Selain itu memisahkan biji berdasar
kenampakan fisik dan ukuran/ berat biji. Sortasi dilakukan secara visual dengan
membuang biji-biji yang jelek dan mutu rendah. Penetapan kualitas biji
didasarkan dari kulit ari, kadar lemak dan kadar air.
G. Pengemasan
dan Penyimpanan
Biji
yang telah disortasi dikemas dalam karung goni yang berukuran minimum 60 kg
disimpan dalam gudang yang bersih dan memiliki ventilasi udara yang baik.
Sebaiknya berlantai beton dan beralaskan balok-balok kayu sehinggga tumpukan
goni tidak langsung menyentuh lantai. Penyimpanan dianjurkan tidak melebihi 3
bulan. Penyimpanan selama 3 bulan masih dapat mempertahankan mutu biji. Lebih
dari 3 bulan telah ditumbuhi jamur dan asam lemak bebas akan meningkat.
III.
METODE
PRAKTIKUM
3.1.Waktu
dan Tempat
Praktikum
Budidaya Kakao ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 18 Oktober 2014. Bertempat di
nursery Agroteknologi.
3.2.Alat
dan Bahan
Adapun alat dan
bahan yang digunakan dalam pelaksanaan praktikum diantaranya :
3.2.1. Alat
a. Alat
tulis
b. Cangkul
c. Pisau
d. Penggaris
3.2.2. Bahan
a. Top
soil (tanah gembur)
b. Bibit
kakao
c. Polybag
ukuran 10x15 cm dan tebal 0,05 mm
d. Pasir
e. Dithen
M-45
f. Air
3.3. Prosedur Praktikum
Siapkan media
tanam dengan menggunakan top soil yakni tanah yang gembur dengan
mencampurkannya bersama pasir dengan takaran 1 : 1, dan selanjutnya masukan
kedalam polybag.
Persiapan
benih :
a. Pertama-tama,
cari dan ambil buah cokelat yang telah masak, yakni kakao yang tangkai buahnya
menjadi kering, adanya rongga antar biji serta kulit buah, dan telah berwarna
kuning atau jingga. Buah cokelat tersebut kemudian di pecah dengan menggunakan
pisau, lalu benih dipotong menjadi 3 bagian (1/3 bagian
ujung, 1/3 bagian tengah, 1/3
bagian pangkal).
b. Kedua,
cuci bersih biji kakao hingga lendir yang menempel di biji hilang, jangan lupa
untuk memisahkan antara biji bagian ujung, tengah dan pangkal. Kemudian rendam
selama 3 menit pada larutan ± 5 mg air yang telah di berikan dithen M-45
secukupnya.
c. Buat
lubang pada media tanam yang ada di dalam polybag, bisa menggunakan kayu maupun
jari dengan kedalam lubang 2/3 dari tinggi benih.
3.4.Pelaksanaan
Praktikum
3.4.1. Persiapan Lokasi
Lokasi
yang digunakan untuk proses penempatan atau penyimpanan benih yakni di nursery
agroteknologi, oleh sebab itu perlu adanya pembersihan lokasi sebelum
benih-benih kakao di tempatkan disana.
3.4.2. Persiapan Media Tanam
Media tanam yang
akan di gunakan adalah top soil yakni tanah yang gembur yang kemudian di campurkan
pasir dengan takaran perbandingan 1 : 1.
3.4.3. Pengisian Polybag
Setelah melalui proses
pencampuran kemudian media tanam dimasukkan kedalam polybag hingga masih
memiliki ketinggian 1 – 2 cm dari atas bibir polybag.
3.4.4. Persemaian
Bagian tengah polybag
yang berisi media tanam dibuat lubang tanam sedalam 2/3
dari tinggi benih atau disesuaikan dengan biji. Setiap polybag masing-masing
disemai dengan satu biji kakao. Dengan jarak antar polybagnya 15 x 15 cm.
3.4.5. Pemeliharaan
a. Penyiraman
Penyiraman
dilakukan 2 kali sehari yakni pada waktu pagi dan sore hari sampai bibit
berumur tiga bulan dan disesuaikan menurut keadaa cuaca. Penyiraman dilakukan
dengan air bersih, menggunakan gembor dan tidak terlalu lembab agar tidak
mengandung penyakit Phytophthora
palmivora dan VCD (Vascular Streak Di
eback).
b. Penyiangan
Penyiangan
dilakukan dengan cara manual yaitu dengan cara mencabut rumput atau gulma yang
tumbuh disekitar polybag maupun berada diluar polybag hal ini untuk menjaga
sanitasi lingkungan di sekitar pembibitan agar tidak menjadi inang hama dan
penyakit.
3.4.6. Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama
dan penyakit yang sering menyerang pembibitan ulat kantong, ulat jengkal, dan
belalang, untuk mencegah gangguan dari hama, serta agar pembibitan tersebut terlindungi,
dilakukan secara manual yaitu mengeluarkan jika ada hama pada bibit tersebut.
Bisa menggunakan insektisida untuk mencegah hama dan menggunakan fungisida
untuk mencegah penyakitnya, caranya dengan melakukan penyemprotan pada tanaman.
3.5.Parameter
Pengamatan
Parameter pengamatan dalam penelitian
ini adalah :
1.
Pertumbuhan benih, pengamatan dilakukan
pada umur 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, HSS (Hari Setelah Semai) yang meliputi :
a. Daya
Tumbuh Benih =
x 100%
(Sutopo, 2004)
b. Kecepatan
Tumbuh Benih = 
Dengan keterangan :
N = Jumlah benih yang tumbuh dalam waktu (+)
T = Waktu pengamatan
c. Tinggi
Bibit dihitung sejak 14, 28, 32, 46, 60 HST (Hari Setelah Tanam)
d. Jumlah
Daun yang juga dihitung sejak 14, 28, 32, 46, 60 HST (Hari Setelah Tanam).
Anonimus.
1998. COKELAT. Departemen Pertanian. Bagian Proyek Informasi Pertanian Riau :
14 – 15.
Goenadi,
D. H. dan Hardjono, A. (1985). Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Cokelat
di Indonesia. Bulletin Perkebunan 3:30-37.
Rohman,
Saepul. 2009. Teknik Fermentasi Dalam Pengolahan Biji Kakao.
http://majarimagazine.com/2009/06/teknik-fermentasi-dalam-pengolahan-biji-kakao/
diakses tanggal 20 Oktober 2014 pukul 21.30 wib.
Siregar,
Tumpal H.S; Slamet Riyadi, Laeli Nuraeni. 2006. Pembudidayaan, Pengolahan, dan
Pemasaran Cokelat. Penerbit Penebar Swadaya : Jakarta.
Susanto,
F.X. 1994. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahan Hasil. Penerbit Kanisius :
Yogyakarta.
Willy,
Bryan. 2010. Standar Pembibitan. http://bryanwilly32.blogspot.com/ 2010/07/standar-pembibitan.
html diakses tanggal 20 Oktober 2014 pukul 21.18 wib.

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWah, ternyata adingku punya blog juga.
Hapusmampir ke blogku juga, ya.
www.temangga.com
🖕
BalasHapus